Jumat, 25 Februari 2011


BAB I
PENDAHULUAN
 LATAR BELAKANG
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan tindakan dokter,keperawatan,dan bidan. yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter,perawat,bidan dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.Sehingga masyarakat menuntut bagaimana tanggung jawab profesi terutama profesi dibidang kesehatan khususnya tenaga dokter,perawat,bidan dan tenaga kesehatan lainnya,serta jenis pelayanan kesehatan baik di rumah sakit pemerintahan,swasta,klinik-klinik dan sebagainya.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia,serta peran,hak, kewajiban dan tanggung jawab seorang professional.
 Tujuan
   1.Menjelaskan tanggung jawab dan akontabilitas
  1. Menjelaskan pengertian dan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan
  2. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
  3. Menjelaskan tentang tanggung jawab hukum
  4. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum.
Manfaat Penulisan
Dalam penulisannya makalah ini bermanfaat sebagai acuan untuk para petugas tenaga kesehatan agar senantiasa di dalam pelaksanakan tindakan keperawatan selalu mengutamakan keselamatan pasien dan akan menggunakan SOP dan memberikan tindakan kepada pasien,sehingga peran, hak , kewajiban serta tanggung jawab sebagai seorang pasien dan petugas tenaga kesehatan dapat terpenuhi.











BAB II

PENDAHULUAN


Tinjauan teori         
Tanggung jawab dan akontabilitas sangat penting dalam menentukan mutu kinerja perawat dan bidan. Hal ini membutuhkan proses mental untuk menjadikan Perawat dan Bidan bekerja secara profesional. Perawat dan bidan harus waspada serta meningkatkan kinerjanya mengingat tanggung jawab dan akontabilitas berhubungan dengan kegiatan atau tindakan mereka. Mereka perlu memonitor dan mengevaluasi semua hasil pekerjaan yang telah dilakukannya, dan selalu berupaya meningkatkan serta menjaga mutu pelayanannya.
       
Pengertian

¨      Tanggung jawab:  mengarah pada kinerja tindakan dari tugas, mencakup  tindakan para staf dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk kesejahteraan pasen.

¨      Akontabilitas:  mengarah pada hasil dari tindakan yang dilakukan. Ini berarti menerima hasil kerja atau tindakan serta tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil, serta tindakan, dan catatan  yang dilakukan dalam batas kewenangannya.                                   

KONSEP TANGGUNG JAWAB dan AKONTABILITAS

Tanggung Jawab

¨      Menempatkan kebutuhan pasen di atas kepentingan sendiri.
¨      Melindungi hak pasen untuk memperoleh keamanan dan pelayanan yang berkualitas dari perawat atau bidan.
¨      Selalu meningkatkan pengetahuan, keahlian serta menjaga perilaku dalam melaksanakan tugasnya.
Akontabilitas           
¨      Dapat mempertahankan kinerja professional berdasarkan standar yang berlaku.

TANGGUNG JAWAB

Tanggung jawab menunjukkan kewajiban. Ini mengarah kepada kewajiban yang harus dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan secara professional. Manajer dan para staf harus memahami dengan jelas tentang fungsi tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing perawat dan bidan serta hasil yang ingin dicapai dan bagaimana mengukur kualitas kinerja stafnya. Perawat atau bidan yang professional akan bertanggung jawab atas semua bentuk  tindakan klinis keperawatan atau kebidanan yang dilakukan dalam lingkup tugasnya.

Tanggung jawab diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kinerja yang ditampilkan guna memperoleh hasil pelayanan keperawatan atau kebidanan yang berkualitas tinggi. Yang perlu diperhatikan dari pelaksanaan tanggung jawab adalah memahami secara jelas tentang “uraian tugas dan spesifikasinya” serta dapat dicapai berdasarkan standar yang berlaku atau yang disepakati. Hal ini berarti  perawat atau bidan mempunyai tanggung jawab yang dilandasi oleh komitmen, dimana  mereka harus bekerja sesuai fungsi tugas yang dibebankan kepadanya.

Untuk mempertahankannya, perawat dan bidan hendaknya mampu dan selalu melakukan introspeksi serta arahan pada  dirinya sendiri (self-directed), merencanakan pengembangan diri secara kreatif dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kinerjanya. Hal ini diperlukan agar mereka dapat mengidentifikasi elemen-elemen kritis untuk meningkatkan dan mengembangkan kinerja klinis mereka, guna memenuhi kepuasan pasen dan dirinya sendiri dalam pekerjaannya.  Mencatat respon dan perkembangan pasen dengan lengkap dan benar merupakan  salah satu tanggung jawab perawat atau bidan dalam melaksanakan tugasnya.

AKONTABILITAkontabilitas adalah mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan, dimana “tindakan” yang dilakukan merupakan satu aturan profesional. Oleh karena itu pertanggungjawaban atas hasil asuhan keperawatan atau kebidanan mengarah langsung kepada praktisi itu sendiri. Pada tingkat pelaksana sebagai  perawat atau bidan harus memiliki kewenangan dan otonomi (kemandirian) dalam pengambilan keputusan untuk tindakan yang akan mereka lakukan. Manajer ruangan (KARU) bertanggung jawab atas keputusannya terhadap pelaksanaan tugas-tugasnya, termasuk menyeleksi staf, terutama mengarah pada kemampuan kinerja mereka masing-masing. Selanjutnya, setiap perawat atau bidan sebagai anggota tim bertanggung jawab terhadap penugasan yang dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu, setiap perawat atau bidan harus faham terhadap pertanggungjawaban atas tugas yang dibebankan kepadanya. Kepala ruangan wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dari srafnya. Perawat atau bidan professional harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan dalam pencapaian tujuan asuhan keperawatan atau kebidanan kepada pasen. Kepekaan diperlukan terhadap hasil setiap tindakan yang dilakukannya, karena berhubungan dengan tanggung jawab, pendelegasian,  kewajiban dan kredibilitas profesinya.  Akontabilitas profesional mempunyai beberapa tujuan, antara lain:

 (1) Perawat dan bidan harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada pasien, manajer dan organisasi tempat mereka bekerja.

(2) Mereka bertanggungjawab terhadap tindakan yang diambil untuk pasen dan keluarganya, masyarakat dan juga terhadap profesinya.

(3) Mengevaluasi praktek profesional dan para stafnya.

(4) Menerapkan dan mempertahankan standar yang telah ditetapkan dan yang dikembangkan oleh organisasi.

(5) Membina ketrampilan personal staf masing-masing.

(6) Memastikan ruang lingkup dalam proses pengambilan keputusan secara jelas.



MEKANISME AKONTABILITAS

1.    Keperawatan atau Kebidanan Klinis
Kelompok perawat atau bidan bertanggung jawab selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi asuhan keperawatan atau kebidanan untuk sekelompok pasennya. Mereka mempunyai wewenang penting untuk memenuhi tanggung jawabnya. Untuk itu mereka harus memiliki wewenang dalam memenuhi tanggung jawabnya dan harus mampu menerima akontabilitas untuk pencapaian hasil praktek keperawatan atau kebidanan. Kewenangan yang dimiliki  perawat atau bidan untuk memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan diarahkan langsung kepada pasen pada setiap saat dalam pelaksanaan tugas. Praktek klinik keperawatan atau kebidanan merupakan instrument yang sudah biasa dilakukan dan dapat dipergunakan dalam mempromosikan praktek profesionalnya. Seorang manajer dapat mengembangkannya melalui dorongan dan kepercayaan terhadap staf perawat atau bidan, agar mereka semakin memiliki kesadaran, dan kemampuan klinis dalam memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi.

2.    Etika Perawat / Bidan
Kerangka konsep dan dimensi moral dari suatu tanggung jawab dan akontabilitas dalam praktek klinis keperawatan dan kebidanan didasarkan atas prinsip-prinsip etika yang jelas serta diintegrasikan ke dalam pendidikan dan praktek klinis. Hubungan perawat atau bidan dengan pasien dipandang sebagai suatu tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap pasien yang pada hakekatnya adalah hubungan memelihara (caring). Elemen dari hubungan ini dan nilai-nilai etiknya  merupakan tantangan yang dikembangkan pada setiap sistem pelayanan kesehatan dengan berfokus pada sumber-sumber yang dimiliki. Perawat atau bidan harus selalu mempertahankan filosofi keperawatan atau kebidanan yang mengandung prinsip-prinsip etik dan moral yang tinggi sebagaimana perilaku memelihara dalam menjalin hubungan dengan pasien dan lingkungannya. Sebagai contoh, ketika seorang perawat/bidan melakukan kesalahan dalam memberikan obat kepada pasien, dia harus secara sportif (gentle) dan rendah hati (humble) berani mengakui kesalahannya. Pada kasus ini dia harus mempertanggungjawabkan kepada: (1) pasien sebagai konsumen,
(2) dokter yang mendelegasikan tugas kepadanya,
(3) Manajer Ruangan yang menyusun standar atau pedoman praktek yang  berhubungan dengan pemberian obat
(4) Direktur Rumah Sakit atau Puskesmas yang bertanggung jawab atas semua bentuk pelayanan di lingkungan organisasi tersebut.

Mempertahankan Akontabilitas Profesional dalam Asuhan Keperawatan atau Kebidanan


1.    Terhadap Diri Sendiri;
(a) Tidak dibenarkan setiap personal melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan status kesehatan pasien.
 (b) Mengikuti praktek keperawatan atau kebidanan berdasarkan standar baru dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi canggih.
(c) Mengembangkan opini berdasarkan data dan fakta.

2.    Terhadap Klien atau Pasien
(a) Memberikan informasi yang akurat berhubungan dengan asuhan keperawatan atau kebidanan.
(b) Memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan berdasarkan standar yang menjamin keselamatan, dan kesehatan pasen.

3.    Terhadap Profesinya;
(a). Berusaha mempertahankan, dan memelihara kualitas asuhan keperawatan, atau kebidanan berdasarkan standar, dan etika profesi.
(b) Mampu dan mau mengingatkan sejawat perawat/bidan untuk bertindak profesional, dan sesuai etik moral profesi.

4.    Terhadap Institusi/Organisasi;  Mematuhi kebijakan dan peraturan yang berlaku, termasuk pedoman yang disiapkan oleh institusi atau organisasi.

5.    Terhadap Masyarakat;  Menjaga etika dan hubungan interpersonal dalam memberikan pelayanan keperawatan, atau kebidanan yang berkualitas tinggi.

Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter ,perawat,bidan dan tenaga kesehatan lainnya untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga perawat berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawat berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
2.2 Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan    perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
  • Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
  • Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
  • Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
etapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawat tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawat untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, ijazah,ujian kompetensi), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawat.  Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Kasus di atas adalah termasuk malpraktik jenis Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.bedasarkan data dari kasus berikut :
Petugas jaga rumah sakit yang telah melakukan tindakan keperawatan yaitu memberikan suntikan kepada seorang pasien sehingga menyebabkan kematian.
Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan  Kesehatan
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter ,perawat,bidan dan tenaga kesehatan lainnya untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga perawat dari pasien yang menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga perawat? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga perawat dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?.
Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya
malpraktek.
Apabila tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga perawat didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga perawat tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawat dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawat dengan pasien, tenaga perawat haruslah bertindak berdasarkan
1)  Adanya indikasi medis
2)  Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)  Bekerja sesuai standar profesi
4)  Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawat melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawat tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawat untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawat
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawat (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawat tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawat
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain      tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga perawat akan mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut .
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawat, karena:
a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawat
b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab perawat
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
Malpraktek dalam asuhan keperawatan adalah suatu kelalaian dari seseorang perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.









BAB III
TINJAUAN KASUS
        
Kasus
Dava Chynata Oktavianto diduga menjadi korban malpraktek Rumah Sakit Krian Husada, Sidoarjo,Jawa Timur. Menurut kisah yang dituturkan sang ibu Evayanti Hudono, Dava di bawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut pada 28 April silam.Bayi berusia tiga tahun itu pun diinfus dan dirawat inap. Keesokan harinya seorang perawat menyuntikkan cairan ke infus ” Kata perawat , itu obat anti mual vitamin C ” ujarnya.
Lewat pukul 12.00 wib, tiga perawat kembali datang dan menyuntikkan cairan ke pangkal selang infusnya.Berikutnya reaksi Dava sangat mengejutkan , ia berontak,menangis, dan berteriak.Dalam hitungan detik tubuhnya kejang-kejang lalu wajahnya membiru dari duburnya keluar cairan dan busa mengalir melalui bibirnya , tak lama Dava pun meninggal
Dilihat dari kasus di atas bahwasannya Dava mengalami tindakan malpraktek dari seorang perawat jaga Rumah Sakit Krian Husada,sehingga terjadi Analpilaktik Syok setelah diberikan tindakan pemberian obat suntikan yang menyebabkan kematian.
Disini kita bisa melihat atas tindakan yang diberikan perawat jaga rumah sakit apakah tindakannya tersebut sudah melalui prosedur tetap dalam memberikan suntikan obat atau belum? Atau apakah dosis yang diberikan oleh seorang pasien sudah sesuai memenuhi kebutuhan pasien yang telah di adviskan oleh seorang dokter?maka dari itu marilah kita melihat tatacara penyelesaian kasus tersebut yang akan diuraikan.

Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan perawat atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga perawat
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
  1. Vicarius liability
ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
  1. Liability in tort
adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek
  1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga perawat  karena adanya mal praktek
diharapkan para perawat dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.   Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga perawat seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian perawat
.
Apabila tuduhan kepada perawat merupakan criminal malpractice, maka tenaga perawat dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga keperawatan
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/perawat menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Tinjauan dari segi hukum
  • Solusi
  1. Apa yang seharusnya dilakukan keluarga untuk menghadapi kasus ini?
Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga perawat sebagai terdakwa yang telah melakukan ciminal malpractice, harusnya dapat membuktikan apakah perbuatan tenaga perawat tersebut telah memenuhi unsur tidak pidana yakni :
  1. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
Berdasarkan  kasus di atas, petugas perawat jaga hanya berniat untuk menolong, namun pada pertolongan kasus ini malah menimbulkan malapetaka.
  1. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Berdasarkan  kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Jadi pearawat jaga hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh perawat jaga telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Selanjutnya bagi seorang dokter yang telah memberikan advis apakah sudah melaksanakan prosebur dalam pemberian obat?
Dalam kasus atau gugatan adanya criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) pembuktianya dapat dilakukan dengan:
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian petugas perawat jaga dengan pasien Dava Chynata Oktavianto dalam hal ini diwakili oleh sang ibu Evayanti hudono perawat jaga haruslah bertindak berdasarkan:
1)  Adanya indikasi medis
2)  Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)  Bekerja sesuai standar profesi
4)  Sudah ada informed consent.
Berdasarkan point – point  di atas penggugat harus mengkaji lebih lanjut untuk didapatkan bukti yang  jelas  apakah perawat jaga telah memenuhi tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang perawat atau tidak.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawat melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawat tersebut dapat dipersalahkan. Dalam kasus diatas perawat jaga telah memenuhi point ini, memberikan suntikan terhadap pasien apakah telah memenuhi standar oprasional,yaitu melakukan skin tes dahulu dalam memberikan suntikan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawat untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawat. Berdasarkan teori ini yang dihubungkan dengan kasus maka, hasil negative dari kasus ini yang berupa meninggalnya seorang anak berusia tiga tahun. Tidak dapat secara langsung sebagai dasar menyalahkan perawat jaga,apakah dosis yang diberikan sudah sesuai dengan kondisi pasien yang di adviskan dokter? perlu dilakukan pengkajian oleh penggugat mengenai hubungan langsung antara penyebab dan kerugian yang diderita oleh penggugat (keluarga ibu Nunuk) untuk didapatkan bukti yang jelas untuk pengajuan tuntutan.
  1. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawat (doktrin res ipsa loquitur). Dalam kasus ini hasil layanan perawat  memberikan tindakan keperawatan yang telah di rekomendasikan oleh seorang dokter. .
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawat tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawat dan dokter yang memberi mandat/advisnya
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
  1. Apa yang seharusnya dilakukan seorang perawat dalam menghadapi kasus ini?
Dalam kasus diatas tuduhan kepada perawat yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga perawat dapat melakukan :
  1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
Dalam informal defence ini hendaknya perawat  menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Dalam informal defence ini hendaknya perawat menjelaskan, apakah hal ini merupakan pengaruh paksaan sehingga perawat dapat membebaskan diri atau tidak dalam pengaruh paksaan sehingga perawat harus memperjelas apa yang terjadi sebenarnya sehingga layak untuk mendapat hukuman atau tidak.
Pihak rumah sakit juga harus berperan aktif dalam pembelaan atas kejadian yang menimpa seorang bocah yang bernama Dava yang dilakukan oleh seorang perawat jaga.berdasakan pelimpahan wewenang dari dokter berupa pemberian suntikan.kriteria pihak rumah sakit harus melakukan pendekatan bagi keluarga pengugat secara presuasif dan kekeluargaan sehingga dapat meringankan tuduhan-tuduhan yang diberikan kepada pihak tergugat dalam hal ini perawat jaga Rumah Sakit Krian Husada.














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tanggung jawab dan akontabilitas memerlukan dasar komitmen yang kuat dalam praktek keperawatan atau kebidanan untuk dapat mengembangkan kemampuannya secara mandiri. Disamping itu diperlukan kemampuan untuk dapat mengarahkan dirinya sendiri, sehingga dapat mengidentifikasikan elemen-elemen kritikal untuk pengembangan atau peningkatan kinerjanya dalam pelaksanaan tugasnya, dalam rangka mempertahankan tercapainya status profesionalnya. Melalui pembelajaran diri secara terus menerus, perawat atau bidan harus senantiasa meningkatkan pengetahuan, kemampuan, serta memelihara perilaku yang etis dan professional untuk  menghasilkan kinerja klinis yang berkualitas tinggi.

Hal tersebut akan tercapai apabila semua fungsi tugas dan kegiatan dilandasi etika dan standar dengan memanfaatkan dan menerapkan mekanisme akontabilitas untuk memenuhi kepuasan pasen dan kepuasan bekerja.

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” Berdasarkan kasus perawat jaga yang telah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi perawat hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh perawat jaga telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Saran
Perawat/dokter dan pihak rumah sakit sebagai tergugat hendaknya dapat menunjukkan profesionalisme sebagai seorang tenaga kesehatan. Dalam arti beliau harus bisa menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang kronologis peristiwa yang terjadi, agar tidak menimbulkan prasangka publik yang akhirnya akan menimbulkan fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga akan merugikan nama baik sebagai seorang perawat dan dokter serta pihak rumah sakit serta hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Karena perawat adalah sebagai pelaku utama dalam kasus ini, perawat harus bisa menjelaskan dengan sebenar- benarnya sebab terjadinya peristiwa saat memberikan tindakan keperawatan sehingga menyebabkan seorang anak meninggal. Menurut standar kewenangan profesi keperawatan seharusnya seorang perawat harus lebih hati-hati dalam memberikan tindakan keperawatan .

1 komentar:

  1. Lucky Eagle Casino & Hotel - Kambi - Kambi
    Get tickets and 시흥 출장마사지 locate the nearest 광주 출장샵 location for Lucky Eagle Casino 고양 출장샵 & Hotel. Search the 부천 출장안마 hottest slot machines 제주도 출장샵 in Kambi, MN.

    BalasHapus